Kamis, 18 Oktober 2012

UPAYA MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN DARI DESINTEGRASI BANGSA


UPAYA MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN
DARI ANCAMAN DESINTEGRASI BANGSA


Kompetensi Dasar :
 Menganalisis Per juangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan dari ancaman desintegrasi bangsa terutama dalm bentuk pergolakan dan pemberontkan (antara lain: PKI Madiun 1948, DI/TII, Andi Azis, RMS, PRRI/PERMESTA, G 30S/PKI

Indikator pembelajaran ;
  1. Mendeskripsikan pemberontkan PKI Madiun, DI/TII, Andi Azis, RMS, PRRI/PERMESTA, dan G30S/PKI
  2.  Menganalisis pemberontakan G30S/PKI tahun 1965 bagi perkembangan negara Indonesia Menganalisis upaya bangsa Indonesia dalm menghadapi gerakan desintegrasi dan separatisme


1. Pemberontakan PKI Madiun Tahun 1948
Akibat Persetujuan renville, Kabinet Amir Syarifuddin jatuh karena dianggap terlalu menguntungkan Belanda. Persetujuan Renville dianggap tidak menjamin secara tegas kedudukan dan kelangsungan hidup Republik Indonesia. Hasil persetujuan Renville membuat posisi Indonesia bertambah sulit. Wilayah Republik Indonesia juga semakin berkurang sehingga wilayah kekuasaan Indonesia menjadi sempit. Presiden kemudian menunjuk Moh. Hatta untuk membentuk kabinet. Hatta menyusun kabinet tanpa campur tangan golongan sayap kiri atau sosialis.
Kabinet Hatta, sekalipun mendapat serangan dari kaum Komunis, tetap melaksanakan program reorganisasi dan rasionalisasi. Cara yang ditempuh antara lain :
  1.  Melepaskan para prajurit dengan sukarela untuk meninggalkan ketentaraan dan kembali kepada pekerjaan semula.
  2. Mengambil 100 ribu orang laskar dari masyarakat dan menyerahkan penampungan kepada Kementerian Pembangunan dan Pemuda.
Dengan bantuan rakyat, pada tanggal 30 September 1948 Madiun berhasil direbut kembali oleh pasukan TNI. Dalam pelariannya, Musso dan Amir Syarifuddin tewas tertembak. Selanjutnya dilakukan operasi pembersihan di daerah – daerah lain.Pada awal Desember 1948, operasi itu dinyatakan selesai.

2. Gerakan Darul Islam / Tentara Islam Indonesia ( DI / TII )
Di Daerah Jawa Barat Pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia
melawan Belanda, Sukarmadji Maridjan ( SM ) Kartosuwiryo telah mempunyai cita –cita untuk mendirikan Negera Islam Indonesia. Akhirnya pada tahun 1960 dilaksanakan Operasi Pagar Betis di Gunung Geber oleh pasukan TNI bersama rakyat. Pasukan Kartosuwiryo semakin terdesak dan bertambah lemah, sehingga banyak yang menyerah. Kartosuwiryo sendiri terkurung dan kemudian tertangkap di puncak Gunung Geber pada tanggal 4 Juni 1962 dan selanjutnya dijatuhi hukuman mati.

Di Daerah Sulawesi Selatan Kemunculan gerakan DI / TII Pimpinan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan disebabkan Kahar Muzakar menempatkan laskar – laskar rakyat Sulawesi Selatan ke dalam lingkungan APRIS ( Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat ). Selain itu, Kahar Muzakar berkeinginan untuk menjadi Pimpinan APRIS di daerah Sulawesi Selatan.
Penumpasan gerakan Kahar Muzakar itu mengalami berbagai kesulitan.Tetapi akhirnya pada bulan Februaru 1965 Kahar Muzakar berhasil ditembak mati oleh satuan – satuan pasukan TNI. Dengan demikian, pemberontakan yang dipimpinnya itu berakhir. Di Aceh Gerakan Di / TII yang terjadi di Aceh dipimpin oleh Daud Beureueh.
      Setelah perang kemerdekaan berakhir dan negara Indonesia kembali ke dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1950, daerah Aceh yang sebelumnya menjadi daerah istimewa diturunkan statusnya menjadi daerah karesidenan di bawah pimpinan Sumatera Utara. Kebijakan Pemerintah itu ditentang oleh Daud Beureueh, dan sebagai realisasinya pada tanggal 21 September 1953 ia mengeluarkan Maklumat tentang penyatuan Aceh ke dalam Negara Islam Indonesia pimpinan Kartosuwiryo.
Pada tanggal 17 – 28 Desember 1962 diselenggarakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh. Musyawarah itu diselenggarakan atas inisiatif Kolonel Jasin, Pangdam I dan tokoh – tokoh pemerintah daerah. Melalui Musyawarah itu akhirnya berhasil dicapai penyelesaian secara damai.

Di Kalimantan Selatan Di Daerah Kalimantan Selatan juga muncul
pemberontakan di bawah pimpinan Ibnu Hajar. Mereka menamakan gerakannya dengan
sebutan Kesatuan Rakjat Jang Tertindas ( KRJT ). Pemerintah akhirnya berhasil mengatasi gerakan yang dilakukan oleh Ibnu Hajar pada tahun 1963. Ibnu Hajar bersama dengan anak buahnya akhirnya menyerahkan diri secara resmi. Pada bulan Maret 1965 pengadilan militer menjatuhkan hukuman mati kepada Ibnu hajar.

3. Gerakan Angkatan Perang Ratu Adil ( APRA )
Gerakan Angkatan Perang Ratu Adil ( APRA ) dipimpin oleh KaptenWesterling. Gerakan ini didasari adanya kepercayaan rakyat akan datangnya seorang Ratu Adil yang akan membawa mereka ke suasana yang aman dan tentram serta memerintah dengan adil dan bijaksana.
Tujuan Gerakan APRA yang sebenarnya adalah mempertahankan bentuk negara federal di Indonesia dan memiliki tentara tersendiri pada negara – negara bagian RIS. Kemudian diketahui, bahwa dalang gerakan APRA adalah Sultan Hamid II, seorang Menteri Negara pada Kabinet RIS. Rencana sebenarnya dari gerakan itu adalah menculik Menteri Pertahanan Keamanan, Sri Sultan Hamengku Buwon IX, SekjenPertahanan Mr. Ali Budiarjo, dan pejabat Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel T.B. Simatupang. Dengan keberhasilan pasukan APRIS menumpas Gerakan APRA, maka keamanan di wilayah Jawa Barat berhasil dipulihkan kembali.

 4. Gerakan Republik Maluku Selatan ( RMS )
Gerakan Republik Maluku Selatan dipelopori oleh Mr. Dr. Christian Robert Steven Soumokil ( mantan Jaksa Agung Negara Indonesia Timur ) dibantu oleh Manusama. Soumokil tidak setuju atas terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahkan, ia sendiri tidak menyetujui penggabungan daerah – daerah negaraIndonesia Timur menjadi kekuasaan Republik Indonesia. Ia berusaha melepaskan wilayah Maluku Tengah dari NIT ( Negara Indonesia Timur ) yang menjadi bagian dari RIS.
Manusama menghasut para Rajapati ( Kepala Desa ) untuk setuju mendirikan RMS, melalui rapat umum di Kota Ambon tanggal 18 April 1950. Ketika jalan damai tidak menghasilkan apa – apa, Pemerintah RIS memtuskan untuk melaksanakan ekspedisi militer. Pimpinan ekspedisi adalah Kolonel A.E. Kawilarang ( Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur ). Melalui ekspedisi militer itu secara perlahan wilayah – wilayah gerakan RMS berhasil dikuasai kembali oleh pasukan APRIS. Beberapa anggotanya melarikan diri ke negeri Belanda. Gerakan RMS berhasil diatasi sehingga keamanan di wilayah Maluku Tengah pulih
kembali.

5. Gerakan Pemerintah Revolusioner republik Indonesia / Perjuangan Rakyat
Semesta ( PRRI / Permesta )
Gerakan PRRI / Permesta muncul di tengah keadaan politik yang sedang tidak stabil dalam pemerintahan. Hubungan yang tidak mesra antara pemeritah pusat dengan beberapa daerah menjadi salah satu pemicu timbulnya gerakan ini. Keadaan itu disebabkan oleh ketidakpuasan beberapa daerah di Sumatera dan Sulawesi terhadap alokasi biaya pembangunan dari Pemerintah Pusat.
 Untuk memulihkan kembali keadaan negara, Pemerintah dengan KSAD memutuskan untuk melaksanakan operasi militer gabungan yang diberi nama Operasi 17 Agustus.
Untuk menghadapi kekuatan Permesta, Pemerintah melancarkan Operasi Sapta Marga pada bulan April 1958. Ternyata gerakan Permesta mendapat bantuan dari pihak asing. Terbukti dengan tertembak jatuhnya pesawat asing yang dikemudikan oleh A.L. Pope ( Warga Negara Amerika Serikat ), pada tanggal 18 Mei 1958 di Kota Ambon. Gerakan Permesta baru dapat dilumpuhkan sekitar bulan Agustus 1958, tetapi sisa – sisanya baru dapat ditumpas secara keseluruhan tahun 1961.

6. Gerakan 30 September 1965 / PKI
Setelah pemberontakan PKI Madiun berhasil ditumpas, PKI ternyata tetap
bergerak di bawah tanah. Kemudian PKI muncul kembali pada tahun 1950 dalam
kehidupan politik di Indonesia dan ikut serta dalam Pemilihan Umum I tahun 1955.
a. Sebab – sebab Munculnya Gerakan 30 September 1965 / PKI
Sekjen D.N. Aidit terpilih menjadi Ketua PKI tahun 1951, ia dengan cepat membangun kembali PKI yang porak – poranda akibat kegagalan pemberontakan pada tahun 1948. PKI juga membentuk biro khusus yang secara rahasia bertugas mempersiapkan kader– kader di berbagai organisasi politik, termasuk dalam tubuh ABRI. PKI juga berusaha mempengaruhi Presiden Soekarno untuk menyingkirkan dan melenyapkan lawan – lawan politiknya. PKI juga menyebutkan bahwa Anggota Dewan Jenderal itu adalah agen Nekolim ( Amerika Serikat atau Inggris ).
 Namun dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun ABRI pada tanggal 5 Oktober 1965, puluhan ribu tentara telah berkumpul di Jakarta sejak akhir bulan September 1965, sehingga dugaan – dugaan akan terajdinya kudeta semakin bertambah santer.

b. Gerakan 30 September 1965 / PKI ( G30S/PKI )
Menjelang terjadinya peristiwa G30S/PKI, tersiar kabar bahwa kesehatan Presiden mulai menurun. Mengetahui keadaan Presiden Soekarno seperti itu, D.N. Aidit langsung memulai gerakan. Rencana gerakan diserahkan kepada Kamaruzaman ( aliasSyam ) yang diangkat sebagai Ketua Biro Khusus PKI dan disetujui oleh D.N. Aidit PKI menetapkan bahwa Gerakan 30 September 1965 / PKI secara fisik dilakukan dengan kekuatan militer yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung, Komandan Batalyon I Resimen cakrabirawa ( Pasukan Pengawal Presiden ) yang bertindak sebagai pimpinan formal seluruh gerakan.
Letnan Kolonel Untung memerintahkan kepada seluruh anggota gerakan untuk siap dan mulai bergerak pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965 untuk melakukan serangkaian penculikan dan pembunuhan terhadap enam perwira tinggi dan seorang perwira pertama dari Angkatan Darat. Para korban dibawa ke Lubang Buaya ( terletak di sebelah selatan pangkalan udara utama Halim Perdana Kusuma ). Kemudian mereka dimasukkan ke dalam sumur tua, dan ditimbun dengan sampah dan tanah. Ketujuh korban dari TNI – Angkatan Darat adalah sebagai berikut :
1. Letnan Jenderal Ahmad Yani ( Menteri / Panglima Angkatan Darat atau Men. Pangad )
2. Mayor Jenderal R. Soeprapto ( Deputy II Pangad )
3. Mayor Jenderal Haryono Mas Tirtodarmo ( Deputy III Pangad )
4. Mayor Jenderal Suwondo Parman ( Asisten I Pangad )
5. Brigadir Jenderal Donald Izacus Panjaitan ( Asisten IV Pangad )
6. Brigadir Jenderal Soetojo Siswomiharjo ( inspektur Kehakiman / Oditur )
7. Letnan Satu Pierre Andreas tendean ( Ajudan Jenderal A.H. Nasution )
Pada waktu bersamaan, Gerakan 30 September 1965 / PKI mencoba untuk mengadakan perebutan kekuasaan di Yogyakarta, Solo, wonogiri dan Semarang. Selanjutnya gerakan tersebut mengumumkan berdirinya Dewan Resolusi melalui RRI pada tanggal 1 Oktober 1965. Dewan Resolusi yang dipancarkan melalui siaran RRI itu dibacakan oleh Letnan Kolonel Untung.

c. Penumpasan Gerakan 30 September 1965 / PKI
Langkah pertama yang dilakukan untuk menumpas gerakan 30 September 1965 / PKI adalah menetralisasi pasukan yang berada di sekitar Medan Merdeka yang dimanfaatkan oleh kaum Gerakan 30 September 1965 / PKI. Operasi militer tentang penumpasan Gerakan 30 September 1965 / PKI mulai dilakukan sore hari, tanggal 1 Oktober 1965 pukul 19.15 WIB. Sementara itu, pasukan RPKAD berhasil menduduki kembali gedung RRI Pusat, gedung telekomunikasi dan mengamankan seluruh wilayah Medan Merdeka tanpa terjadi bentrokan bersenjata. Dengan demikian, dalam waktu yang sangat singkat, yaitu pada tanggal 1 Oktober 1965 itu juga kota Jakarta telah berhasil dikuasai kembali oleh ABRI dan kekuatan Gerakan 30 September 1965 / PKI yang memberontak telah berhasil dilumpuhkan.
Pada tanggal 3 Oktober 1965 berhasil ditemukan jenazah para perwira tinggi Angkatan Darat yang dikuburkan dalam sumur tua. Pengangkatan jenazah dilaksanakan pada tanggal 4 Oktober 1965 oleh anggota RPKAD dan KKOAL ( marinir ). Seluruh jenazah dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat ( sekarang RSPAD Gatot Subroto ) untuk dibersihkan dan kemudian disemayamkan di Markas Besar Angkatan Darat. Keesokan harinya bertepatan dengan HUT ABRI tanggal 5 Oktober 1965, jenazah mereka dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Mereka dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi, serta diberi kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi, anumerta.

d. Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
Pada tanggal 2 Oktober 1965 Presiden Soekarno memanggil semua Panglima seluruh angkatan ke Istana Bogor. Dalam pertemuan itu diputuskan bahwa Pimpinan Angkatan Darat langsung berada di tangan Presiden.
" Presiden / Panglima Tertinggi ABRI / Pemimpin Besar Revolusi, Bung Karno menandaskan bahwa ia mengutuk pembunuhan buas yang dilakukan oleh petualang kontrarevolusi yang menamakan dirinya dengan Gerakan 30 September 1965 / PKI. Presiden juga tidak membenarkan pembentukan apa yang dinamakan Dewan Revolusi. Hanya saja bias mendemisionerkan kabinet, bukan orang lain. "
Pernyataan itu ternyata tidak membuat surut rakyat Indonesia untuk menuntut pembubaran PKI beserta organisasi massanya. Komando daerah Militer(Kodam) juga turut membekukan PKI beserta organisasi massanya ( Ormasnya ).

e. Penumpasan gerakan 30 September 1965 / PKI di jawa Tengah dan
Yogyakarta
Ketika meletus G30S/PKI, daerah yang paling gawat keadaannya adalah di jakarta dan Jawa Tengah. Di kedua daerah itu pihak Gerakan 30 September 1965 / PKI mempergunakan kekuatan senjata, sedangkan di daerah lainnya secara umum kaum G30S/PKI itu tidak bereaksi menggunakan kekuatan senjata. Kota demi kota yang pernah dikuasai oleh pihak G30S/PKI itu berhasil direbut kembali, sehingga pada tanggal 5 Oktober 1965 garis Komando Kodam VII /
Diponegoro telah dipulihkan kembali. Untuk memantapkan konsolidasi Kodam VII / Diponegoro, pada tanggal 5 Oktober 1965 Pangdam mengadakan taklimat secara simultan dengan komandan – komandan pleton di Kota Salatiga, Solo dan Yogyakarta.
Sementara itu, operasi penumpasan Gerakan 30 September 1965 / PKI yang dilakukan di luar Jakarta dan Jawa Tengah cukup dilakukan dengan Gerakan Operasi Territorial. Operasi itu dilakukan dengan menangkapi tokoh – tokoh organisasi politik dan organisasi massa PKI. Secara keseluruhan pemberontakan yang dinamakan Gerakan 30 September 1965 / PKI yang ditengarai didukung oleh PKI telah berhasil ditumpas. Bahkan PKI dinyatakan sebagai partai terlarang oleh Pemerintah untuk berdiri di Republik Indonesia.

f. Beberapa Pendapat tentang Peristiwa Gerakan 30 September 1965 / PKI
Gerakan 30 September 1965 / PKI memunculkan beberapa pendapat mengenai gerakan tersebut. Beberapa pendapat tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965 / PKI, diantaranya sebagai berikut :

Brigadir jenderal ( Purn ) Herman Sarens Sudiro.
Menurut Herman Sarens Sudiro pelaku utama dari Gerakan 30 September 1965 / PKI
adalah PKI. Target awal PKI adalah membunuh Presiden Soekarno yang hendak dilakukan pada saat upacara Peringatan Hari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) tanggal 5 Oktober 1965.

Dr. Harold Crouch ( Pengamat Militer dari Universitas Australia )
Crouch menyatakan bahwa di tubuh Angkatan Darat telah terjadi persaingan diantara
para jenderal, yaitu antara jenderal yang mendapatkan kedudukan dan posisi penting dengan jenderal – jenderal yang terbuang atau tidak memiliki posisi dalam tugasnya.

Brigadir Jenderal Suharyo kecik
Suharyo menyatakan bahwa Soeharto termasuk jenderal paling senior. Tetapi karena pendidikannya terbatas, kariernya pun mentok. Keadaan Soeharto seperti itu yang mengundang Biro Khusus PKI untuk membina. Pada tanggal 12 Maret 1966, Soeharto langsung mengambil tindakan dengan membubarkan PKI dan melakukan penangkapan terhadap tokoh – tokoh PKI yang disinyalir terlibat kudeta berdarah.

Mahkamah Militer 1979
Dalam keputusan Mahkamah Militer, tokoh yang dianggap paling bertanggung jawab
terhadap munculnya peristiwa gerakan 30 September 1965 / PKI adalah Kamaruzaman (Syam) Ketua Biro Khusus PKI.

Gabriel Kolko ( Sejarawan Amerika Serikat )
Berdasarkan pernyataan Gabriel Kolko yang disalin dari dokumen rahasia Amerika
Serikat menyebutkan bahwa pada awal bula Nopember 1965, para jenderal dari TNI – AD di Indonesia meminta bantuan senjata kepada Amerika Serikat untuk mempersenjatai kaum anti komunis dari kalangan keagamaan dan pemuda nasionalis.

Kolonel Sukendro ( Perwira Intel AD )
Sebelum peristiwa Gerakan 30 September 1965 / PKI, ia pernah menerima daftar nama
para jenderal yang akan terbunuh muncul dalam Gerakan 30 September 1965 / PKI dari Pemerintah Cina, padahal Kostrad sendiri belum mengetahui secara pasti nasib para jenderal tersebut. Akibat pernyataannya itu muncul gelombang aksi pengrusakan terhadap konsulat Cina di berbagai daerah seperti di Medan, Banjarmasin, Makasar, dan puncaknya pada tanggal 1 Oktober 1965 Kedubes Cina diserbu dan dibakar massa.

g. Dampak Sosial – Politik Peristiwa Gerakan 30 September 1965 / PKI terhadap
Masyarakat Indonesia
Setelah peristiwa G30S/PKI berakhir, kondisi politik Indonesia masih belum stabil. Situasi Nasional sangat menyedihkan, kehidupan ideologi nasional belum mapan. Sementara itu, kondisi politik juga belum stabil karena sering terjadi konflik antar partai politik. Demokrasi Terpimpin justru mengarah ke sistem pemerintahan diktator. Kehidupan ekonomi lebih suram, sehingga kemelaratan dan kekurangan makanan terjadi dimana – mana. Presiden Soekarno menyalahkan orang – orang yang terlibat dalam perbuatan keji yang berakhir dengan gugurnya Pahlawan Revolusi serta korban – korban lainnya yang tidak berdosa. Namun Presiden Soekarno menyatakan gerakan semacam G30S/PKI dapat saja terajadi dalam suatu revolusi.
 Sikap Soekarno ini diartikan lain oleh masyarakat, mereka menganggap Soekarno membela PKI. Akibatnya, popularitas dan kewibawaan Presiden menurun di mata Rakyat Indonesia. Demonstrasi besar – besaran terjadi pada tanggal 10 januari 1966. Para demonstran ini mengajukan tiga tuntutan yang terkenal dengan sebutan TRITURA ( Tri Tuntutan Rakyat ), meliputi sebagai berikut :
1. Pembubaran PKI.
2. Pembersihan Kabinet Dwikora dari unsur – unsur OKI.
3. Penurunan harga – harga ( Perbaikan Ekonomi ).
Tindakan Pemerintah lainnya adalah mengadakan reshuffle ( perombakan ) Kabinet Dwikora. Pembaharuan Kabinet Dwikora terjadi tanggal 21 Februari 1966 dan kemudian disebut dengan Kabinet Dwikora Yang Disempurnakan. Mengingat jumlah anggota mencapai hampir seratus orang, maka kabinet itu sering disebut dengan Kabinet Seratus Menteri. Menjelang pelantikan Kabinet Seratus Menteri pada tanggal 24 Februari 1966, KAMI melakukan aksi serentak. Dalam demonstrasi itu gugur seorang mahasiswa Universitas Indonesia, Arief Rahman Hakim.
Peristiwa itu berpengaruh besar terhadap maraknya gelombang aksi demonstrasi.
Di Istana Bogor ketiga perwira tinggi itu mengadakan pembicaraan langsung dengan Presiden yang didampingi oleh Dr. Subandrio, Dr. J. Leimena dan Dr. Chaerul Saleh. Sesuai dengan kesimpulan pembicaraan, maka ketuga perwira TNI – AD itu bersama dengan Komandan Resimen Cakrabirawa, Brigjen Sabur diperintahkan membuat konsep surat perintah kepada Letjen Soeharto yang kemudian Surat Perintah itu lebih dikenal dengan sebutan Surat Perintah 11 Maret ( Supersemar ). Isi pokoknya adalah memerintahkan kepada Letjen Soeharto atas nama Presiden untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketertiban serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan presiden.

7. Proses Peralihan Kekuasaan Politik Setelah Peristiwa G30S/PKI
a. Masa Transisi ( 1966 – 1967 )
Setelah peristiwa G30S/PKI, muncul berbagai upaya untuk melakukan perbaikan politik di dalam negeri. Diantaranya Simposium Kebangkitan Semangat ’66 yang diselenggarakan oleh Universtias Indonesia bekerja sama dengan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia ) dan KASI ( Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia ).
Dalam simposium itu, disarankan kepada Pemerintah untuk mengembalikan kewibawaan Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum melalui usulan tentang pemurnian pelaksanaan UUD 1945, penghentian pengeluaran Penpres – Penpres Baru dan peninjauan kembali semua Penpres yang telah dikeluarkan. Memasuki masa – masa terakhir transisi, Pemerintah menghadapi masalah nasional. Masalah – masalah nasional yang meminta perhatian selama tahun- tahunterakhir dari masa transisi adalah sebagai berikut :
1.    Berusaha memperkuat pelaksanaan sistem konstitusional, menegakkan hukum danmenumbuhkan kehidupan demokrasi yang sehat sebagai syarat untuk mewujudkanstabilitas politik.
2.    Melaksanakan Pembangunan Lima tahun yang pertama sebagai usaha untukmemberi isi kepada kemerdekaan.
3.    Tetap waspada dan sekaligus memberantas sisa – sisa kekuatan laten PKI.

b. Peralihan Kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto
Pada Sidang Umum MPRS tahun 1966, Presiden diminta oleh MPRS untuk memberikan pertanggungjawaban mengenai kebijakan yang telah dilakukan, khususnya mengenai masalah yang menyangkut peristiwa Gerakan 30 September 1965. Namun, dalam pidato pertanggungjawabannya itu, Presiden cenderung hanya memberikan amanat seperti apa yang dilakukan di hadapan sidang – sidang lembaga yang berada di lingkungan tanggung – jawabnya. Presiden memberi nama pidato pertanggungjawabannya itu Nawaksara yang artinya sembilan pokok masalah. Masalah nasional tentang masalah Gerakan 30 September 1965 / PKI tidak disinggung sama sekali, sehingga pertanggungjawaban Presiden dianggap tidak lengkap. Oleh karena itu, Pimpinan MPRS meminta kepada Presiden untuk melengkapinya.
Setelah melalui serangkaian pertemuan, maka pada tanggal 23 Februari 1967 di Istana Negara Jakarta dengan disaksikan oleh Ketua Presidium Kabinet Ampera dan para Menteri, Presiden / Mandatari MPR / Panglima Tertinggi ABRI dengan resmi telah menyerahkan kekuasaan Pemerintahan kepada pengemban Ketetapan MPRS No. IX / MPRS / 1966, Jenderal Soeharto.

2 komentar:

  1. What are the different types of casino games? - WorkMaker Money
    The difference 인카지노 between online casino games and scratch cards is that there's no reason to think you can't make หาเงินออนไลน์ money 온카지노 on gambling.

    BalasHapus
  2. Betway Casino $500 Welcome Bonus - Mapyro
    부천 출장안마 › Casino › Sports › 아산 출장샵 › Casino › Sports Betway Casino in Livingston 정읍 출장마사지 is offering a $500 casino bonus as well. 여수 출장샵 Betway's mobile app is available for download on your iPhone or 서울특별 출장마사지 Android device!

    BalasHapus